Asal-usul Penamaan Toraja: Sebuah Wadah Memori dan Budaya
Seorang sastrawan besar Inggris, William Shakespeare dalam kisah romannya Romeo dan Juliet pernah mengatakan “Apalah arti sebuah nama?”. Frasa yang kemudian menjadi bangunan filsafat bagi segelintir orang terhadap proses penamaan suatu hal. Pada realitasnya, proses penamaan bukanlah hal yang sederhana, di dalamnya menyimpan rentetan sejarah dengan sekelumit makna budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia.
Manusia yang bertahan hidup di dunia memang tidak akan pernah lepas dari konsep tempat sehingga kesan yang hadir dalam suatu proses penamaan merupakan nilai-nilai yang keberadaanya perlu dilestarikan. Farinelli (Agnew ed., 2004:316) sendiri menegaskan bahwa tempat merupakan sebuah lokasi dimana terjadinya peristiwa yang tidak terjadi di tempat lain karena dipengaruhi oleh aktivitas manusia sehingga menimbulkan kebermaknaan, sense of place.
Lebih lanjut, pengetahuan tentang asal-usul penamaan suatu tempat dalam bidang ilmu linguistik dikenal dengan istilah Toponimi yang berasal dari bahasa Yunani topoi= tempat dan onama= nama sehingga berarti nama tempat. Toponimi atau nama tempat sendiri merupakan hasil budaya baik itu secara historis karena melewati beberapa generasi maupun secara sombolis karena melalui pendasaran makna yang ditetapkan oleh masyarakat. Toponimi juga merupakan kesepakatan bersama, sebagaimana dapat dilihat dari asal-usul penamaan Toraja yang memiliki nilai kultural karena diturunkan melalui penuturan secara vertikal dari generasi ke generasi.
Sebelum dikenal dengan nama Toraja, masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan bagian utara di Sulawesi Selatan ini menyebut daerah mereka dengan sebutan “Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo”. Pemberian nama ini jelas tidak muncul begitu saja, namun melalui proses berpikir yang panjang dengan nilai kearifan lokal karena mempertimbangkan nilai historis dan dinamika ruang berdasarkan keyakinan yang dianut oleh masyarakat setempat yaitu Aluk Todolo.
Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo sendiri berasal dari bahasa suku yang berdiam di negeri tersebut dimana tondok berarti negeri, lepongan berarti kebulatan atau kesatuan, bulan yang berarti bulan. tana atau negeri, matari’ berarti bentuk dan allo yang berarti matahari, sehingga dimaknai sebagai negeri yang bentuk kemasyarakatannya merupakan kesatuan yang bulat bagaikan bulan dan matahari.
Adapun kebulatan atau kesatuan tatanan masyarakat yang dimaksud merujuk pada satu sumber aturan yaitu Aluk Sanda Pitunna yakni Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau 7777. Nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo juga dimaknai sebagai persekutuan negeri yang terdiri dari berbagai daerah adat dimana Tana Toraja tidak pernah dipimpin oleh seorang penguasa tunggal melainkan diperintah oleh para pemangku adat di masing-masing wilayah daerah.
Penggunaan Toraja sendiri sebagai nama salah satu suku bangsa dimulai ketika dua orang misionaris dan etnografer asal Belanda bernama Albertus Christiaan Kruyt dan seorang linguis atau ahli bahasa Nicolaas Adriani, menggunakan nama tersebut dalam karya tulis ilmiah mereka sejak tahun 1877.
Menurut Tangdilintin (1981:2), penyebutan Toraja sebenarnya mulai didengar pada saat dimulainya kerjasama dengan daerah tetangga seperti Bugis Sidenreng, Bone dan Luwu dalam hal perdagangan, jauh sebelum kedatangan kolonial Belanda. Pada saat itu, orang Tondok Lepongan Bulan dikenal dengan kebudayaan yang tinggi sehingga ahli dalam berbagai hal seperti perhiasan, ukiran, tenunan hingga hasil pertanian yang diperdagangkan dengan sistem barter. Pada saat itu, penyebutan Toraja disadur dari kata To Riaja dimana To berarti orang dan Riaja berarti sebelah atas bagian utara. Beberapa budayawan lainnya menyebutkan bahwa kata Toraja berasal dari panggilan orang Luwu yaitu To Rajang atau orang yang berada di bagian barat. Hal ini dikarenakan kerajaan Luwu terletak di sebelah Timur dan Tondok Lepongan Bulan berada di sebelah barat. Pendapat ini kemudian selaras sebagaimana syair-syair atau mantra
Toraja yang menyebut kerajaan Luwu sebagai Kadatuan Matallo atau kerajaan timur.
Tidak hanya sampai disitu, ada pula yang berpendapat bahwa penamaan Toraja berasal dari nama seorang Puang yang berasal dari Tondok Lepongan Bulan yakni Puang Lakipadada yang datang ke Gowa pada akhir abad ke-13.
Sejarah mencatat, bahwa Puang Lakipadada yang merupakan anak dari Puang Sanda Boro dan sekaligus cucu dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ ini pergi berkelana mencari hidup abadi atau tangmate. Dari pengembaraannya inilah yang kemudian membuatnya tiba di Kerajaan Gowa dan menjadi raja karena kebijaksanaanya. Orang Gowa menyebutnya Tau Raya yang dalam bahasa Makassar berarti orang timur.
Selanjutnya, muncul pendapat yang diyakini dan diakui oleh sebagian besar kerajaan di Sulawesi Selatan sebagaimana yang ditelisik dalam asal-usul keturunan raja-raja di Sulawesi Selatan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Tondok Lepongan Bulan, sehingga menamai tempat tersebut sebagai Tana To Raja yang berarti negeri orang raja-raja. Maka berlanjutlah penamaan wilayah pegunungan bagian utara ini dengan nama Tana Toraja.
Adapun beberapa tempat yang menjadi batas wilayah Toraja memakai kata Toraya atau Toraa seperti Kampung Raya di sebelah timur di daerah Basse Sangtempe, Salu Toraa di perbatasan Seko Rongkong dan Makale Rantepao, Padang Toraa di daerah Seko dan Angge Raya yang berada di daerah perbatasan Tallu Batupapan dan Enrekang.
Penamaan Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo menjadi Tana Toraja memang berlandaskan letak secara geografis sehingga digunakan dalam bahasa Indonesia dan resmi hingga sekarang. Namun, bagi masyarakat Toraja sendiri, kata Toraya lebih akrab digunakan karena berfungsi menjadi penyebutan daerah dan identitas orang Toraja. Hal ini yang menyebabkan dalam bidang kesusatraan, kata Toraya lebih banyak digunakan karena dimaknai pula sebagai To Maraya atau orang yang besar dan mulia.
Bagaimanapun, menyebut identitas diri sebagai Toraya adalah cerminan dari angan-angan orang Toraja yang dibangun secara kolektif. Mempelajari dan memahami toponimi atau asal-usul penamaan Toraja sama halnya dengan memahami masa lalu, mengulik wadah berisi memori tentang bahasa, budaya dan pikiran orang Toraja yang juga sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan Shakespeare.
- DAFTAR PUSTAKA
Agnew, J. & Livingstone, D. 2011. The SAGE Handbook of Geographical Knowledge. New York: Sage Publication Itd.
Agustan. 2008. Toponimi Bukan Hanya Tata Cara Penulisan Nama Unsur Geografis. Jurnal Inovasi Online. Vol. 11/XX/2008
L.T, Tangdilintin. 1981. Toraja dan Kebudayaannya. Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan.
Shakespeare, William. 2010. Romeo Juliet. Yogyakarta: Navila. - Gambar diambil dari Pinterest