Kedudukan Pemali dalam Kepercayaan Lokal Masyarakat Adat Suku Toraja

Loka Banne
6 min readNov 2, 2020

--

Nakua nene’ todolo, “tae na ma’din kande tallo’ manuk ke bulunganni pare saba’ malayu dako’ tu pare” yang berarti “dilarang makan telur ayam jikalau padi sedang tumbuh, sebab nanti padi akan layu.” Kenapa?

Pantang larang atau lebih dikenal dengan istilah pemali dalam beberapa istilah daerah merupakan salah satu jenis ungkapan larangan yang dituturkan secara langsung. Fenomena yang muncul dari pemali adalah keberadaannya sebagai tradisi lisan. Pemali atau larangan merupakan suatu aturan tersirat yang disampaikan secara vertikal dari generasi ke generasi dalam suatu lingkungan. Pada umumnya, pemali merupakan narasi ketakutan berupa tahayul yang digunakan untuk mendidik atau menasehati masyarakat agar tidak menyimpang dari norma-norma yang dipercayai komunitas masyarakat tertentu. Hal ini menjadikan pemali berkedudukan sebagai kontrol sosial yang mengatur sikap dan perilaku manusia atau yang disebut fakta sosial.

Di Toraja sendiri, masyarakat adat suku Toraja yang menganut sukaran aluk yakni Aluk Todolo memiliki larangan-larangan yang membatasi perilaku masyarakat adat yang disebut pemali sukaran aluk agar pertentangan-pertentangan sebagai kelompok adat dapat terhindar demi tertibnya pelaksanaan dan penyebaran aluk sebagai hukum dan kepercayaan masyarakat adat (Tangdilintin: 1981).

Pemali bagi masyarakat adat suku Toraja dibagi ke dalam empat golongan yakni Pemalinna Aluk Ma’lolo Tau, Pemalinna Aluk Patuoan, Pemalinna Aluk Tananan dan Pemalinna Aluk Banua.

Pemalinna aluk ma’lolo tau merupakan larangan yang menyangkut aturan hidup seorang manusia baik itu dalam hubungannya dengan Puang Matua, Deata dan To membali puang maupun hubungan sesama manusia. Pemalinna aluk ma’lolo tau inipun terbagi lagi ke dalam tiga bagian besar. Yang pertama ialah pemali yang membatasi manusia dalam menghadapi upacara keselamatan yang disebut pemali unromok sapean tabang. Sapean tabang yang berarti potongan daun lenjuang merupakan istilah untuk menyebut upacara rambu tuka’ atau sukacita sebab daun lenjuang selalu dipergunakan saat ritual rambu tuka’ dilaksanakan. Kedua ialah pemali yang membatasi manusia dalam upacara kedukaan atau kematian yang disebut pemali unromok panda di bolong. Dilihat dari makna leksikalnya, unromok berarti meraba, panda berarti batas dan bolong berarti hitam, sehingga dari segi konteks, istilah tersebut merujuk pada larangan untuk mengganggu, merusak atau mengacaukan ritus rambu solo’ sebagai ritual kedukaan. Pemalinna aluk ma’lolo tau yang ketiga ialah pemali yang membatasi manusia dalam hubungan sosial sehari-hari atau pemali unnola tangsalunna. Salah satu contoh pemali unnola tangsalunna ialah pemali unromok tananan pasa’ atau dilarang mengacau dalam pasar, pemali unsongkan dapo’ yang berarti dilarang bercerai, pemali ma’pakena atau dilarang berbohong, dan lain-lain.

Golongan kedua dalam pemali sukaran aluk ialah pemali aluk patuoan yang merupakan larangan atau aturan dalam pemeliharaan hewan ternak, seperti larangan menyembelih kerbau bersama anaknya atau pemali mantunu tedong sisola anakna. Yang ketiga ialah pemalinna aluk tananan atau larangan dalam pemeliharaan tanaman. Salah satu larangan dalam pemalinna aluk tananan ialah pemali mantanan bongi atau dilarang menanam di malam hari. Yang terakhir ialah pemalinna aluk banua atau larangan dalam bangunan rumah dalam hal ini Tongkonan seperti pemali palangngan tomate langngan banua tang lendu’ alukna atau dilarang menaikkan orang mati ke atas rumah Tongkonan yang belum selesai ditahbiskan secara adat.

Adapun dalam pelaksanaannya, pelanggaran bagi yang tidak menaati pemalinna sukaran aluk di atas akan mendapat hukuman berupa sanksi adat. Sebut saja apabila ada oknum baik itu individu maupun instansi yang mengganggu kesakralan dalam pelaksanaan rambu solo’, ia akan diberikan sanksi secara adat. Hukuman atas pelanggaran aturan adat yang dilakukan oleh seseorang inipun biasanya diketahui dengan adanya kekacauan atau malapetaka yang dialami oleh masyarakat baik itu yang berimplikasi terhadap individu maupun komunitas. Munculnya kekacauan dan malapetaka ini akan memicu para pemangku adat untuk menelisik akar munculnya dan apabila diketahui terdapat seseorang yang melanggar pemali maka akan diberikan hukuman sesuai dengan pelanggaran yang ia lakukan. Hukuman yang diberikan dapat berupa pengakuan dosa atau yang disebut sebagai mangngaku. Mangngaku dilakukan dengan mengurbankan babi atau ayam apabila pelanggaran yang dilakukan dianggap ringan dan apabila pelanggarannya berat maka mangngaku dilakukan dengan kurban persembahan kerbau. Mangngaku dengan pelanggaran berat ini disebut juga dengan Mangrambu Langi’.

Selain Mangngaku dan Mangrambu Langi’, terdapat pula hukuman lain yakni membayar denda atau dipakalao. Dipakalao merupakan hukuman yang diatur oleh pemangku adat dengan menyuruh si pelanggar pemali sukaran aluk membayar kesalahannya dengan harta benda berupa kerbau, sawah atau harta lain yang dimiliki dan dianggap setimpal atas pelanggaran yang telah dilakukan. Dalam pemberian hukuman, tidak ada aturan tertulis yang mengatur pemberian sanksi atas pelanggaran adat tetapi diputuskan melalui kombongan karopi yang dilaksanakan apabila terdapat pelanggaran adat dimana rapat adat ini mengusung konsep musyawarah kada rapa’ dan kada situru’. Adapun pemberian hukuman atau sanksi berbeda-beda dari setiap wilayah adat di Toraja yakni padang di puangngi, padang di ambe’i dan padang di ma’dikai. Perbedaan pemberian sanksi ini dipengaruhi oleh tidak adanya aturan tertulis yang mengatur sehingga ditentukan oleh bagaimana seorang pemangku adat dalam wilayah adat tersebut bersikap dalam memaknai sukaran aluk sebagai landasan untuk mengamati dan menanggapi pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang.

Selain keempat golongan pemali sukaran aluk di atas, terdapat pula pemali yang disebut sebagai pemali pangngada’. Pemali pangngada’ adalah larangan yang sifatnya tidak memaksa namun dianjurkan untuk ditaati sebab berakibat tidak baik bagi diri sendiri. Pemali pangngada’ biasanya ditujukan kepada anak-anak, orang muda dan terkhusus bagi seorang perempuan yang kehidupannya dalam masyarakat adat diatur oleh berbagai pantangan. Contohnya, Pemali lako baine ma’tambuk ma’dokko dio ba’ba saba’ dako’ siammang anakna (pantang bagi perempuan hamil duduk di pintu rumah sebab kelak akan sukar melahirkan), Pemali lako baine mangngura millik tangnga allo, dako’ umpomuane tomatua (larangan bagi gadis bangun siang hari sebab kelak mendapatkan suami yang sudah tua) Pemali lako baine mangngura mekutu dio eran, dako’ masussa ullambi’ dodo bayunna (pantang bagi gadis mencari kutu di tangga sebab kelak susah mendapatkan jodoh), dll. Dalam konteks kajian gender, pemali yang banyak diperuntukkan bagi perempuan ini menunjukkan adanya fenomena budaya patriarki yang sangat membatasi kaum perempuan di sejumlah etnis di Indonesia termasuk Toraja. Selain itu, pada pemali jenis ini pula yang kemudian hadir sebagai narasi ketakutan bagi pendengarnya. Ketakutan yang dihadirkan dalam pemali pangngada’ menimbulkan pergulatan batin seseorang untuk mematuhi pemali tersebut tanpa ada penjelasan yang jelas terkait hubungan kausalitas dari setiap premis dalam pemali.

Pemali pangngada’ sebagai ungkapan merupakan pantangan yang diterima karena dipercayai begitu saja tanpa penalaran yang ilmiah. Oleh sebab itu, kedudukan pemali pangngada’ saat ini mulai jarang didengar sebagai anjuran yang mutlak karena telah bergeser dari nilai percaya ke nilai rasional atau telah mengalami eksplanasi ilmiah hingga ke perubahan nilai fungsionalitas. Seperti di Toraja, makan telur saat masih musim menanam padi bukan sebuah larangan lagi, pasalnya larangan tersebut telah dirasionalkan bahwa dahulu kala telur yang ada pada musim menanam sebaiknya dibiarkan menetas menjadi ayam agar bisa digunakan dan dikonsumsi pada perayaan syukuran saat musim panen tiba. Lagi pula, tidak ada teori yang menjelaskan hubungan antara memakan telur ayam dengan pertumbuhan padi secara ilmiah.

Meski saat ini pemali sudah dianggap sebagai sesuatu yang tidak valid sehingga tidak lagi digunakan sebagai pedoman atau ajaran bagi generasi selanjutnya, pemali khususnya pemali sukaran aluk bagi masyarakat adat Toraja pada dasarnya perlu dilestarikan. Hal ini dikarenakan pemali adalah sebuah fenomena bahasa yang terpola, dan disikapi sebagai tradisi lisan bahkan menjadi salah satu kajian sastra lisan. Pemali sukaran aluk perlu didokumentasikan dan diinventarisasi dengan baik sebagai bentuk bahan kajian dalam kajian tradisi lisan dan kajian budaya. Keberadaannya dalam konteks budaya Toraja akan menjadi salah satu pedoman dalam pelaksanaan ritus bagi generasi penerus yang ingin melestarikan adat istiadat suku Toraja. Selain itu, dalam konteks kajian sastra dan budaya, kajian pantang larang atau pemali bisa menjadi sumber informasi serta bahan kajian ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan komunitas masyarakat adat dan pendekatan antropologi sosial, atau antropologi komunikasi.

Singkatnya, pemali sukaran aluk barangkali tidak lagi dianggap sebagai aturan yang kaku atau mutlak dalam menjalankan berbagai ritus dalam aluk dan pemali pangngada’ barangkali tidak lagi dijadikan sebagai kontrol sosial masyarakat adat Toraja, tetapi yang perlu digaris bawahi adalah kedua jenis pemali inilah yang akan menjadi pembuktian jejak masa lalu dan berkedudukan sebagai warisan atau kearifan lokal masyarakat Toraja sehingga tidak bijak jika dikatakan sebagai suatu hal yang omong kosong, sudah tidak sesuai zaman, bahkan narasi ketakutan yang mengancam keselamatan seseorang.

Loka Banne, 2020

Daftar Pustaka

Tammu, J. and Van Der Veen, H. 2016. Kamus Toraja-Indonesia. Toraja: P.T. Sulo bekerjasama dengan YKPT BPS Gereja Toraja.

L.T, Tangdilintin. 1981. Toraja dan Kebudayaannya. Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan.

Poespasari. Ellyne. D. 2019. Hukum Adat Suku Toraja. Surabaya: Jakad Publishing

--

--

Loka Banne
Loka Banne

Written by Loka Banne

Bermaksud menjadi tempatmu memanen bacaan

No responses yet